Trend "Sekop-Sekop" Ponidi dalam Sudut Pandang Budaya Jawa

Sekop-Sekop dalam Budaya Jawa: Menggali Tren Musik Tradisional
Tren "sekop-sekop" yang belakangan ini viral dalam musik Jawa, khususnya campursari, menarik perhatian banyak kalangan. Tren ini berawal dari popularitas lagu yang dipopulerkan oleh penyanyi Jawa Tengah, Nonik Aprilia, bersama grup campursari Alrosta. Selanjutnya, tren ini diadopsi oleh banyak penyanyi lain, termasuk Ponidi, dan menyebar luas di kalangan pecinta musik tradisional Jawa. Dalam budaya Jawa, tren "sekop-sekop" ini bukan sekadar fenomena viral, melainkan memiliki akar yang dalam dalam tradisi musik dan komunikasi budaya Jawa.
Senggakan: Seni Menyela dalam Musik Jawa
Dalam musik tradisional Jawa, khususnya gamelan, terdapat elemen penting yang disebut senggakan. Senggakan adalah vokal yang menyela di tengah alunan musik atau nyanyian, biasanya berupa rangkaian kata-kata yang memiliki makna tertentu. Senggakan dapat dilakukan oleh pengrawit, wiraswara, atau bahkan sindhen yang bukan vokal utama. Fungsi utama senggakan adalah sebagai hiasan musikal yang menambah keramaian dan dinamika dalam sebuah lagu atau gendhing.
"Sekop-sekop" dalam konteks ini bisa dianggap sebagai bentuk modern dari senggakan. Meskipun istilah ini merujuk pada alat penggali tanah dalam arti literal, maknanya dalam lagu jauh lebih dalam dan simbolik, menggambarkan bagaimana budaya Jawa sering menggunakan bahasa yang bersifat kiasan dan samar, atau sinamun ing samudana.
Makna Kiasan di Balik "Sekop-Sekop"
Dalam budaya Jawa, kata-kata sering kali tidak hanya diambil dari arti lugasnya, tetapi juga dipahami dalam konteks kiasan. "Sekop-sekop" dalam lagu yang viral ini menjadi populer bukan karena arti harfiahnya sebagai alat, tetapi karena kesamaan bunyinya dengan kata "kokop" atau "ngokop". Dalam bahasa Jawa, kokop atau ngokop merujuk pada cara seseorang meminum air langsung dari botol dengan mulut yang melekat pada mulut botol.
Menariknya, kata kokop ini juga memiliki konotasi lain yang lebih vulgar dalam budaya Jawa, sering kali dikaitkan dengan tindakan yang tidak sopan. Prinsip keindahan dan kesopanan Jawa, yang dikenal sebagai sinamun ing samudana, mengajarkan bahwa orang Jawa cenderung menyembunyikan makna yang lebih dalam di balik kata-kata yang tersamar. Dengan demikian, penggunaan kata "sekop-sekop" bisa dipandang sebagai permainan kata yang memanfaatkan kekayaan bahasa Jawa untuk menyampaikan makna yang lebih luas dan simbolik.
Senggakan sebagai Ornament Musik dan Komunikasi
Dalam konteks musik Jawa, senggakan seperti "sekop-sekop" tidak hanya berfungsi sebagai hiasan, tetapi juga sebagai bentuk komunikasi antara penyanyi dan pendengar. Senggakan ini menciptakan kesan ramai dan meriah, memperkaya pengalaman mendengarkan musik. Dalam dunia modern, tren ini bisa disandingkan dengan elemen-elemen musik populer seperti beat drop dalam musik DJ, di mana ritme dan repetisi kata-kata menciptakan daya tarik tersendiri.
Senggakan, seperti yang dilakukan dalam tren "sekop-sekop", sering kali digunakan untuk mengisi ruang kosong dalam lagu, memberikan nuansa interaktif, dan menghidupkan suasana. Dalam beberapa kasus, senggakan juga mengandung nasihat atau ajaran moral yang penting dalam budaya Jawa, meskipun dalam bentuk yang lebih ringan atau humoris. Senggakan tersebut biasa ditemukan di gending-gending Jawa seperti Sinom Parijatha atau Sinom Nyamat.
Menghidupkan Tradisi melalui Tren Modern
Tren "sekop-sekop" yang viral ini tidak hanya menjadi fenomena dalam dunia musik Jawa, tetapi juga mencerminkan bagaimana budaya tradisional bisa dihidupkan kembali dan dikemas dalam format yang lebih modern. Penggunaan senggakan dalam lagu ini menunjukkan bahwa tradisi Jawa tetap relevan dan dapat terus beradaptasi dengan perkembangan zaman, tanpa kehilangan esensi budayanya. Sekop-sekop, dengan segala lapisan maknanya, menjadi bukti bahwa musik dan bahasa Jawa memiliki kedalaman yang mampu menjangkau berbagai generasi, menjadikan tradisi sebagai bagian yang hidup dari kehidupan sehari-hari.
Penulis: Danang Wijoyanto (Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa)
Foto: DC Production